Rabu, 23 November 2016

AQIDAH JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH

AQIDAH JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH

Dengan karunia Allah S.w.t., kami Ahmadiyah adalah orang-orang yang beragama Islam, kami mempunyai keyakinan bahwa agama Islam itulah satu agama yang sempurna yang tidak akan dimansukhkan lagi sampai hari Qiamat. Siapa saja yang tidak mengikuti Islam, maka kepercayaannya tidak benar dan agamanya yang lain itu tidak akan dikabulkan.

Allah S.w.t. berfirman:
“Dan, siapa saja yang memilih selain Islam sebagai agama, maka darinya tidak diterima dan di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi”
(QS. Ali Imran, 3:86)

Al-Quranul-Majid adalah firman Allah yang suci dan Sayyidina Muhammad S.a.w. adalah berpangkat Khãtaman-Nabiyyĩn. Tidak ada kitab (syari’at) baru lagi atau Nabi yang membawa agama baru sesudah beliau itu.

Rukun Islam kami ada lima perkara:

1. Mengucapkan dua Kalimah Syahadat, yaitu:
“Saya menyaksikan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah; dan saya menyaksikan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”
2. Mendirikan Shalat lima waktu dalam sehari-semalam.
3. Berpuasa pada bulan Ramadhan
4. Membayar Zakat kalau sudah cukup nishab.
5. Naik haji ke Mekkah Al-Mukarramah kalau mampu.

Demikian juga Rukun Iman kami ada enam perkara:

1. Percaya kepada Allah Ta‘ala.
2. Percaya kepada para Malaikat-Nya.
3. Percaya kepada Kitab-kitab-Nya.
4. Percaya kepada Rasul-rasul-Nya.
5. Percaya kepada Hari Qiamat.
6. Percaya kepada Taqdir Allah Ta‘ala.

Inilah kepercayaan kami secara ringkas. Sekarang, saya hendak menjelaskan kepercayaan Ahmadiyah itu dengan mengambil keterangan dari beberapa tulisan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sendiri:

1.     BERKENAAN DENGAN ALLAH

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:
“Kami beragama Islam, kami beriman kepada Allah Yang Maha Esa, yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya Yang Maha Tunggal"
(Nurul-Haq, Juz I, hal. 6).

Sabdanya lagi:

“Saya beraqidah dari lubuk hati yang dalam bahwa Allah itu adalah Yang menjadikan alam, Dia itu Esa, Maha Kuasa, Maha Mulia dan menguasai segala sesuatu yang nampak dan yang sembunyi”
(Mir’atu Kamalatil-Islam, hal. 384).

Sabdanya lagi:

“Allah itu Tunggal, Kekal berdiri sendiri tidak beranak dan tidak bersyarikat”
(Anjami Atam, hal. 267).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Dengan kemuliaan Allah saya bersumpah bahwa saya mengutamakan keridhaan-Nya melebihi segala perkara dan pintu-Nya melebihi segala pintu lain; dan kesukaan-Nya melebihi kesukaan orang lain dan bahwa Dia beserta dengan saya setiap waktu dan saya pun mengikuti-Nya dalam segala hal; dan saya telah mengutamakan kegiatan agama dan Dialah yang mencukupi saya; walaupun saya tidak mempunyai harta-benda dunia apa apa; aku mendapatkan kenikmatan meski tak ada apa-apa di tangan; cinta kepada Tuhan tertanam di hati saya dan saya mendapatkan pangkat ruhani yang tidak dapat dikenal oleh manusia mana saja di masa sekarang”
(Tuhfah Baghdad, hal. 19).

Sabdanya lagi:

“Kepada Allah saja saya menuju; pada tiap-tiap waktu pena saya bergerak”

2. BERKENAAN DENGAN MALAIKAT

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:
“Aku beraqidah bahwa Allah mempunyai malaikat, …masing-masing dari mereka itu mempunyai martabat yang tertentu”
(Mir'atu Kamalatil-Islam, hal. 284)

Sabdanya lagi:

“Dan kami beriman kepada malaikat Allah dan dengan martabat mereka dan kami beriman bahwa turunnya mereka itu seperti turunnya nur, bukan seperti dari satu negeri ke negeri lain”
(Tuhfah Baghdad, hal. 25).

3. BERKENAAN DENGAN KITAB

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:

“Aku bersumpah dengan kemuliaan Allah bahwa aku seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Kitab-kitab-Nya”
(Hamaamatul-Busyraa, hal. 13).

Sabda beliau lagi:

“Aku beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya”
(Izaalah-Auhaam, hal. 2).

Sabda beliau a.s. lagi:

“Bersaksilah kamu bahwa kami berpegang teguh kepada Kitab Allah Al-Quran dan kami mengikuti sabda Rasulullah yang menjadi sumber kebenaran dan ilmu makrifat, dan kami menerima apa-apa yang telah diijma’kannya pada masa itu, kami tidak menambah apa-apa dan tidak pula mengurangi apa-apa darinya dan kami hidup dan mati atasnya. Siapa saja yang menambah apa-apa dalam syari’at atau mengurangi atau mengafiri diijma’kan, maka ia akan mendapat kutukan Allah, kutukan dan manusia semuanya” (Anjami Atham, hal. 144).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Sesungguhnya semua kebaikan ada di dalam Al-Quran dan dalam Hadits yang tertuju dengannya. Mereka yang mencari selain darinya, maka mereka termasuk orang-orang yang melanggar batas”
(Mawahibur-Rahman, hal. 62).

Beliau a.s. bersabda:

“Dan aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak mendapatkan satu pun ilham dari ilham-ilhamku yang
menyalahi Kitab Allah, bahkan aku mendapati segala ilham, sesuai dengan alam, yaitu Al-Quranul-Majid” (Hamaamatul-Busyraa, hal. 96).

4. BERKENAAN DENGAN PARA RASUL

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:

“Segala puji bagi Allah yang telah berbuat baik kepada kami dengan mengutus para Rasul dan Kitab-kitab dan telah menjadikan Nabi-nabi itu sebagai tali untuk kemah-kemah tauhid dan menghubungkan mereka wali-wali supaya menjadi paku bagi shalawat dan salam kepada sebaik-baik dan semulia-mulia Rasul, yaitu Khaatamun-Nabiyyiin dan yang akan memberi syafa’at untuk orang-orang yang berdosa dan beliau itu lebih utama dari semua orang dahulu kemudian shalawat dan salam bagi para pengikutnya yang suci dan yang disucikan”
(Anjaami Athahm, hal. 73).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Aku beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya” (Izaalah-Auhaam, hal. 2)

Sabda a. s. lagi:

 “Ketahuilah wahai saudaraku, kami beriman kepada Allah, sebagai Tuhan dan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan kami beriman bahwa beliau adalah Khaatamun-Nabiyyiin, kami beriman kepada Al-Quran bahwa itu dari Allah Yang Pemurah dan kami tidak menerima apa saja yang menyalahi Al-Furqan (Al-Quran) dan keterangan-keterangan dan hukum-hukumnya, kisah-kisahnya meskipun perkara itu timbul dari akal atau dari riwayat-riwayat yang dinamakan Hadits oleh para Ahli Hadits atau dari kata-kata sahabat dan tabi’in”
(Tuhfah Baghdad, hal. 23).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Demi Allah, Muhammad adalah semulia-mulia makhluk dan beliau itu Nur Allah yang menghilangkan segala kegelapan”
Beliau a.s. bersabda lagi:
“Mu’jizat para Nabi itu benar”
(Mir’aatu Kamaalaatil-Islaam, hal. 367).

5. BERKENAAN DENGAN HARI AKHIR

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:
Al-Quran itu benar dan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah semulia-mulia Nabi dan Penghulu semua Rasul (Muhammad) itu benar, dan siapa saja yang menuduh kami dengan perkara yang menyalahi syari’at dan Al-Quran walaupun sedikit, maka sungguh dia telah mengadakan kedustaan yang nyata kepada kami” (Tuhfah Baghdad, hal. 25)

Lagi beliau a.s. bersabda:

“Dan kami beriman kepada malaikat-malaikat, hari Kebangkitan, Surga dan Neraka”
(Nurul-Haqq, Juz I, hal. 6)

Lagi beliau a.s. bersabda:

“Kami beri’tiqad bahwa Surga dan Neraka itu benar”
(Miraati Kamaalaatil-Islam, hal. 387).

6. BERKENAAN DENGAN TAQDIR

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmada.s. bersabda:
“Kepunyaan Allah saja segala kemuliaan dan kebesaran, dan dari-Nya qadar dan qadha’ dan perintah-Nya didengar oleh bumi dan langit” (Mawaahibur-Rahmaan, hal. 116).

Inilah kepercayaan Ahmadiyah yang telah dijelaskan dalam buku-buku Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sendiri.

Beliau a.s. bersabda lagi:

 “Ketahuilah bahwa Islam itu agamaku dan tauhid itu keyakinanku” (Mir'aati Kamaalaatil-Islam, hal. 388).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Kami berlepas diri dari setiap hakikat yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam” (Tuhfah Baghdad, hal. 25).

Adapun perbedaan yang terdapat di antara kami dengan orang-orang Islam lainnya itu sebagai berikut:

1.     Kami beri’tiqad bahwa Allah itu satu Dzat-Nya, sifat-Nya dan af’al-Nya dan Dia tidak bertempat, bahkan Dia telah ada sebelum alam ini dijadikan. Akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah itu beri’tiqad bahwa Allah itu berada di langit.
2.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa malaikat Allah itu suci tidak berdosa, sedangkan orang-orang yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa ada malaikat-malaikat yang sudah berbuat dosa.
3.     Orang-orang Ahmadiyah beriman bahwa Nabi-nabi itu suci dan ma’shum, sedang orang-orang yang bukan Ahmadiyah mengakui bahwa ada pula di antara Nabi itu yang melanggar perintah Tuhan dan ada di antara mereka yang telah berdusta dan lain-lain.
4.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan para Rasul-Nya kepada setiap umat dan wajib kami percayai serta menghormati mereka itu, sedangkan mereka yang bukan Ahmadiyah tidak mempercayai sedemikian.
5.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Allah tetap bersifat mutakallim (berbicara), maka sebagaimana Dia telah berkata-kata dengan hamba-hamba-Nya di masa dahulu demikian juga Dia berkata-kata dengan hamba-hamba-Nya yang baik sesudah Nabi MuhammadS.a.w.. Adapun wahyu yang mengandung hukum-hukum baru yang menyalahi syari’at Islam memang tidak akan turun lagi, sedangkan mereka yang bukan Ahmadiyah mengatakan bahwa tidak ada sembarang wahyu lagi, karena Allah tidak akan berkata-kata lagi sampai Qiamat.
6.     Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa Nabi-nabi yang membawa syari’at baru atau Nabi yang tidak mengikuti Islam itu tidak ada lagi. Adapun Nabi yang taat kepada Islam bahkan mendapatkan pangkat kenabian pun karena dengan berkat mengikuti Nabi MuhammadS.a.w. memang boleh ada sesudah beliau hanya untuk memajukan Islam saja. Akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa sembarang Nabi tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad S.a.w. dan mereka yang mengaku menjadi Nabi itu Dajjal adanya.
7.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Nabi Allah Isa ibnu Maryama.s. yang telah diutus kepada Bani Israil itu sudah wafat sebagaimana Nabi-nabi lainnya, akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Nabi Isaa.s. itu masih hidup di langit dengan tubuh kasarnya sampai sekarang.
8.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Nabi Isaa.s. yang dijanjikan itu adalah seorang dari ummat Islam sendiri bukan Nabi Isa yang telah diutus kepada Bani Israil dahulu, akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa Nabi Isaa.s. yang telah diutus kepada Bani Israil itu juga yang akan diutus kepada ummat Islam. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa apabila Nabi Isaa.s. datang, ia tidak berpangkat Nabi lagi.
9.     Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa adzab Neraka itu tidak kekal selama-lamanya, ada masanya adzab itu akan habis walaupun panjang lamanya, hanya nikmat Surga saja yang kekal selama-lamanya. Akan tetapi mereka yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa ada manusia kafir yang akan dimasukkan ke Neraka untuk kekal selama-lamanya dan adzabnya tidak putus sampai kapan pun.
10.                        Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa Isra’ dan Mi’raj itu benar-benar tejadi akan tetapi Nabi Muhammad S.a.w. tidak naik ke langit dengan tubuh kasarnya, bahkan kejadian itu adalah satu kasyaf yang mulya. Ada pun orang yang bukan Ahmadiyah meyakini bahwa beliau sudah naik dengan tubuh kasarnya sampai di langit yang ketujuh bahkan sampai Sidratul-Muntaha dan Baitul-Ma’mur yang lebih tinggi dari langit yang ketujuh itu.
11.                        Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa semua ayat Al-Quran itu mengandung kebenaran-kebenaran yang kekal, tidak ada di dalamnya satu ayat pun yang bathil, akan tetapi mereka yang
12.                        Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa tiada paksaan dalam agama, Islam hendak mengemukakan segala kebenaran dengan keterangan yang melapangkan pikiran dan menerangi akal dan menimbulkan keyakinan di hati, akan tetapi mereka yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa sembarang orang kafir boleh dibunuh karena kekafirannya apalagi ketika Nabi Isa a.s. akan turun, dia akan membunuh segala babi dan menurut kata ulama dia akan membunuh pula semua orang-orang kafir yang tidak mau memasuki agama Islam (lihat Tafsir Al-Khazin Juz I, hal. 516 dan menurut fatwa Imam As-Syafi’i sembarang orang kafir boleh dibunuh karena kekafirannya saja lihat Bidayatul-Mujtahid Juz I, fasal Jihad).

Kepercayaan dan pengakuan Ahmadiyah ini berdasarkan kepada alasan-alasan Al-Quranul-Majid dan Hadits-hadits Nabi S.a.w. serta kami senantiasa bersedia untuk mengemukakan segala alasan itu insya Allah.

Pembaca yang dihormati! Keterangan-keterangan tadi sudah pernah dikirim kepada Syeikhul-Islam Mahmud Zuhdi di Kalang menurut Titah dari Kebawah Dule yang maha mulia Sulthan Selangor pada permulaan Agustus 1951. Akan tetapi tidak dapat dibantah oleh Pejabat Agama sampai sekarang. Terjemah keterangan-keterangan bahasa Arab itu ditambah sekarang.

Sumber : Muhammad Sidiq bin Barkatullah
Penjelasan Ahmadiyah
Jawaban Terhadap Berbagai Tuduhan dalam buku :

‘Al Qadiyaniah’, ‘Musang Berebulu Ayam  dan ‘Perisai Orang Beriman h.7-13

AQIDAH JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH

AQIDAH JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH

Dengan karunia Allah S.w.t., kami Ahmadiyah adalah orang-orang yang beragama Islam, kami mempunyai keyakinan bahwa agama Islam itulah satu agama yang sempurna yang tidak akan dimansukhkan lagi sampai hari Qiamat. Siapa saja yang tidak mengikuti Islam, maka kepercayaannya tidak benar dan agamanya yang lain itu tidak akan dikabulkan.

Allah S.w.t. berfirman:
“Dan, siapa saja yang memilih selain Islam sebagai agama, maka darinya tidak diterima dan di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi”
(QS. Ali Imran, 3:86)

Al-Quranul-Majid adalah firman Allah yang suci dan Sayyidina Muhammad S.a.w. adalah berpangkat Khãtaman-Nabiyyĩn. Tidak ada kitab (syari’at) baru lagi atau Nabi yang membawa agama baru sesudah beliau itu.

Rukun Islam kami ada lima perkara:

1. Mengucapkan dua Kalimah Syahadat, yaitu:
“Saya menyaksikan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah; dan saya menyaksikan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”
2. Mendirikan Shalat lima waktu dalam sehari-semalam.
3. Berpuasa pada bulan Ramadhan
4. Membayar Zakat kalau sudah cukup nishab.
5. Naik haji ke Mekkah Al-Mukarramah kalau mampu.

Demikian juga Rukun Iman kami ada enam perkara:

1. Percaya kepada Allah Ta‘ala.
2. Percaya kepada para Malaikat-Nya.
3. Percaya kepada Kitab-kitab-Nya.
4. Percaya kepada Rasul-rasul-Nya.
5. Percaya kepada Hari Qiamat.
6. Percaya kepada Taqdir Allah Ta‘ala.

Inilah kepercayaan kami secara ringkas. Sekarang, saya hendak menjelaskan kepercayaan Ahmadiyah itu dengan mengambil keterangan dari beberapa tulisan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sendiri:

1.     BERKENAAN DENGAN ALLAH

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:
“Kami beragama Islam, kami beriman kepada Allah Yang Maha Esa, yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya Yang Maha Tunggal"
(Nurul-Haq, Juz I, hal. 6).

Sabdanya lagi:

“Saya beraqidah dari lubuk hati yang dalam bahwa Allah itu adalah Yang menjadikan alam, Dia itu Esa, Maha Kuasa, Maha Mulia dan menguasai segala sesuatu yang nampak dan yang sembunyi”
(Mir’atu Kamalatil-Islam, hal. 384).

Sabdanya lagi:

“Allah itu Tunggal, Kekal berdiri sendiri tidak beranak dan tidak bersyarikat”
(Anjami Atam, hal. 267).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Dengan kemuliaan Allah saya bersumpah bahwa saya mengutamakan keridhaan-Nya melebihi segala perkara dan pintu-Nya melebihi segala pintu lain; dan kesukaan-Nya melebihi kesukaan orang lain dan bahwa Dia beserta dengan saya setiap waktu dan saya pun mengikuti-Nya dalam segala hal; dan saya telah mengutamakan kegiatan agama dan Dialah yang mencukupi saya; walaupun saya tidak mempunyai harta-benda dunia apa apa; aku mendapatkan kenikmatan meski tak ada apa-apa di tangan; cinta kepada Tuhan tertanam di hati saya dan saya mendapatkan pangkat ruhani yang tidak dapat dikenal oleh manusia mana saja di masa sekarang”
(Tuhfah Baghdad, hal. 19).

Sabdanya lagi:

“Kepada Allah saja saya menuju; pada tiap-tiap waktu pena saya bergerak”

2. BERKENAAN DENGAN MALAIKAT

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:
“Aku beraqidah bahwa Allah mempunyai malaikat, …masing-masing dari mereka itu mempunyai martabat yang tertentu”
(Mir'atu Kamalatil-Islam, hal. 284)

Sabdanya lagi:

“Dan kami beriman kepada malaikat Allah dan dengan martabat mereka dan kami beriman bahwa turunnya mereka itu seperti turunnya nur, bukan seperti dari satu negeri ke negeri lain”
(Tuhfah Baghdad, hal. 25).

3. BERKENAAN DENGAN KITAB

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:

“Aku bersumpah dengan kemuliaan Allah bahwa aku seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Kitab-kitab-Nya”
(Hamaamatul-Busyraa, hal. 13).

Sabda beliau lagi:

“Aku beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya”
(Izaalah-Auhaam, hal. 2).

Sabda beliau a.s. lagi:

“Bersaksilah kamu bahwa kami berpegang teguh kepada Kitab Allah Al-Quran dan kami mengikuti sabda Rasulullah yang menjadi sumber kebenaran dan ilmu makrifat, dan kami menerima apa-apa yang telah diijma’kannya pada masa itu, kami tidak menambah apa-apa dan tidak pula mengurangi apa-apa darinya dan kami hidup dan mati atasnya. Siapa saja yang menambah apa-apa dalam syari’at atau mengurangi atau mengafiri diijma’kan, maka ia akan mendapat kutukan Allah, kutukan dan manusia semuanya” (Anjami Atham, hal. 144).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Sesungguhnya semua kebaikan ada di dalam Al-Quran dan dalam Hadits yang tertuju dengannya. Mereka yang mencari selain darinya, maka mereka termasuk orang-orang yang melanggar batas”
(Mawahibur-Rahman, hal. 62).

Beliau a.s. bersabda:

“Dan aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak mendapatkan satu pun ilham dari ilham-ilhamku yang
menyalahi Kitab Allah, bahkan aku mendapati segala ilham, sesuai dengan alam, yaitu Al-Quranul-Majid” (Hamaamatul-Busyraa, hal. 96).

4. BERKENAAN DENGAN PARA RASUL

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:

“Segala puji bagi Allah yang telah berbuat baik kepada kami dengan mengutus para Rasul dan Kitab-kitab dan telah menjadikan Nabi-nabi itu sebagai tali untuk kemah-kemah tauhid dan menghubungkan mereka wali-wali supaya menjadi paku bagi shalawat dan salam kepada sebaik-baik dan semulia-mulia Rasul, yaitu Khaatamun-Nabiyyiin dan yang akan memberi syafa’at untuk orang-orang yang berdosa dan beliau itu lebih utama dari semua orang dahulu kemudian shalawat dan salam bagi para pengikutnya yang suci dan yang disucikan”
(Anjaami Athahm, hal. 73).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Aku beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya” (Izaalah-Auhaam, hal. 2)

Sabda a. s. lagi:

 “Ketahuilah wahai saudaraku, kami beriman kepada Allah, sebagai Tuhan dan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan kami beriman bahwa beliau adalah Khaatamun-Nabiyyiin, kami beriman kepada Al-Quran bahwa itu dari Allah Yang Pemurah dan kami tidak menerima apa saja yang menyalahi Al-Furqan (Al-Quran) dan keterangan-keterangan dan hukum-hukumnya, kisah-kisahnya meskipun perkara itu timbul dari akal atau dari riwayat-riwayat yang dinamakan Hadits oleh para Ahli Hadits atau dari kata-kata sahabat dan tabi’in”
(Tuhfah Baghdad, hal. 23).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Demi Allah, Muhammad adalah semulia-mulia makhluk dan beliau itu Nur Allah yang menghilangkan segala kegelapan”
Beliau a.s. bersabda lagi:
“Mu’jizat para Nabi itu benar”
(Mir’aatu Kamaalaatil-Islaam, hal. 367).

5. BERKENAAN DENGAN HARI AKHIR

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah bersabda:
Al-Quran itu benar dan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah semulia-mulia Nabi dan Penghulu semua Rasul (Muhammad) itu benar, dan siapa saja yang menuduh kami dengan perkara yang menyalahi syari’at dan Al-Quran walaupun sedikit, maka sungguh dia telah mengadakan kedustaan yang nyata kepada kami” (Tuhfah Baghdad, hal. 25)

Lagi beliau a.s. bersabda:

“Dan kami beriman kepada malaikat-malaikat, hari Kebangkitan, Surga dan Neraka”
(Nurul-Haqq, Juz I, hal. 6)

Lagi beliau a.s. bersabda:

“Kami beri’tiqad bahwa Surga dan Neraka itu benar”
(Miraati Kamaalaatil-Islam, hal. 387).

6. BERKENAAN DENGAN TAQDIR

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmada.s. bersabda:
“Kepunyaan Allah saja segala kemuliaan dan kebesaran, dan dari-Nya qadar dan qadha’ dan perintah-Nya didengar oleh bumi dan langit” (Mawaahibur-Rahmaan, hal. 116).

Inilah kepercayaan Ahmadiyah yang telah dijelaskan dalam buku-buku Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sendiri.

Beliau a.s. bersabda lagi:

 “Ketahuilah bahwa Islam itu agamaku dan tauhid itu keyakinanku” (Mir'aati Kamaalaatil-Islam, hal. 388).

Beliau a.s. bersabda lagi:

“Kami berlepas diri dari setiap hakikat yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam” (Tuhfah Baghdad, hal. 25).

Adapun perbedaan yang terdapat di antara kami dengan orang-orang Islam lainnya itu sebagai berikut:

1.     Kami beri’tiqad bahwa Allah itu satu Dzat-Nya, sifat-Nya dan af’al-Nya dan Dia tidak bertempat, bahkan Dia telah ada sebelum alam ini dijadikan. Akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah itu beri’tiqad bahwa Allah itu berada di langit.
2.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa malaikat Allah itu suci tidak berdosa, sedangkan orang-orang yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa ada malaikat-malaikat yang sudah berbuat dosa.
3.     Orang-orang Ahmadiyah beriman bahwa Nabi-nabi itu suci dan ma’shum, sedang orang-orang yang bukan Ahmadiyah mengakui bahwa ada pula di antara Nabi itu yang melanggar perintah Tuhan dan ada di antara mereka yang telah berdusta dan lain-lain.
4.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan para Rasul-Nya kepada setiap umat dan wajib kami percayai serta menghormati mereka itu, sedangkan mereka yang bukan Ahmadiyah tidak mempercayai sedemikian.
5.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Allah tetap bersifat mutakallim (berbicara), maka sebagaimana Dia telah berkata-kata dengan hamba-hamba-Nya di masa dahulu demikian juga Dia berkata-kata dengan hamba-hamba-Nya yang baik sesudah Nabi MuhammadS.a.w.. Adapun wahyu yang mengandung hukum-hukum baru yang menyalahi syari’at Islam memang tidak akan turun lagi, sedangkan mereka yang bukan Ahmadiyah mengatakan bahwa tidak ada sembarang wahyu lagi, karena Allah tidak akan berkata-kata lagi sampai Qiamat.
6.     Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa Nabi-nabi yang membawa syari’at baru atau Nabi yang tidak mengikuti Islam itu tidak ada lagi. Adapun Nabi yang taat kepada Islam bahkan mendapatkan pangkat kenabian pun karena dengan berkat mengikuti Nabi MuhammadS.a.w. memang boleh ada sesudah beliau hanya untuk memajukan Islam saja. Akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa sembarang Nabi tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad S.a.w. dan mereka yang mengaku menjadi Nabi itu Dajjal adanya.
7.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Nabi Allah Isa ibnu Maryama.s. yang telah diutus kepada Bani Israil itu sudah wafat sebagaimana Nabi-nabi lainnya, akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Nabi Isaa.s. itu masih hidup di langit dengan tubuh kasarnya sampai sekarang.
8.     Orang-orang Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Nabi Isaa.s. yang dijanjikan itu adalah seorang dari ummat Islam sendiri bukan Nabi Isa yang telah diutus kepada Bani Israil dahulu, akan tetapi orang-orang yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa Nabi Isaa.s. yang telah diutus kepada Bani Israil itu juga yang akan diutus kepada ummat Islam. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa apabila Nabi Isaa.s. datang, ia tidak berpangkat Nabi lagi.
9.     Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa adzab Neraka itu tidak kekal selama-lamanya, ada masanya adzab itu akan habis walaupun panjang lamanya, hanya nikmat Surga saja yang kekal selama-lamanya. Akan tetapi mereka yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa ada manusia kafir yang akan dimasukkan ke Neraka untuk kekal selama-lamanya dan adzabnya tidak putus sampai kapan pun.
10.                        Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa Isra’ dan Mi’raj itu benar-benar tejadi akan tetapi Nabi Muhammad S.a.w. tidak naik ke langit dengan tubuh kasarnya, bahkan kejadian itu adalah satu kasyaf yang mulya. Ada pun orang yang bukan Ahmadiyah meyakini bahwa beliau sudah naik dengan tubuh kasarnya sampai di langit yang ketujuh bahkan sampai Sidratul-Muntaha dan Baitul-Ma’mur yang lebih tinggi dari langit yang ketujuh itu.
11.                        Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa semua ayat Al-Quran itu mengandung kebenaran-kebenaran yang kekal, tidak ada di dalamnya satu ayat pun yang bathil, akan tetapi mereka yang
12.                        Orang-orang Ahmadiyah percaya bahwa tiada paksaan dalam agama, Islam hendak mengemukakan segala kebenaran dengan keterangan yang melapangkan pikiran dan menerangi akal dan menimbulkan keyakinan di hati, akan tetapi mereka yang bukan Ahmadiyah percaya bahwa sembarang orang kafir boleh dibunuh karena kekafirannya apalagi ketika Nabi Isa a.s. akan turun, dia akan membunuh segala babi dan menurut kata ulama dia akan membunuh pula semua orang-orang kafir yang tidak mau memasuki agama Islam (lihat Tafsir Al-Khazin Juz I, hal. 516 dan menurut fatwa Imam As-Syafi’i sembarang orang kafir boleh dibunuh karena kekafirannya saja lihat Bidayatul-Mujtahid Juz I, fasal Jihad).

Kepercayaan dan pengakuan Ahmadiyah ini berdasarkan kepada alasan-alasan Al-Quranul-Majid dan Hadits-hadits Nabi S.a.w. serta kami senantiasa bersedia untuk mengemukakan segala alasan itu insya Allah.

Pembaca yang dihormati! Keterangan-keterangan tadi sudah pernah dikirim kepada Syeikhul-Islam Mahmud Zuhdi di Kalang menurut Titah dari Kebawah Dule yang maha mulia Sulthan Selangor pada permulaan Agustus 1951. Akan tetapi tidak dapat dibantah oleh Pejabat Agama sampai sekarang. Terjemah keterangan-keterangan bahasa Arab itu ditambah sekarang.

Sumber : Muhammad Sidiq bin Barkatullah
Penjelasan Ahmadiyah
Jawaban Terhadap Berbagai Tuduhan dalam buku :

‘Al Qadiyaniah’, ‘Musang Berebulu Ayam  dan ‘Perisai Orang Beriman h.7-13

Selasa, 24 November 2009

Ringkasan Khutbah Idul Adha


 
KUTIPAN BEBERAPA KHUTBAH IDUL ADHA
HADHRAT MIRZA BASYIRUDDIN MAHMUD AHMAD
MUSHLIH MAU'UD(r.a.)

Kisah Keluarga Nabi Ibrahim(a.s.)
Idul Adha adalah memperingati peristiwa [atas] kecintaan sejati kepada Tuhan yang diperlihatkan oleh Hadhrat Ibrahim (a.s.) lebih kurang 4000 tahun yang lalu. Sejak itu, hasil dari [peristiwa tersebut] dunia tengah menyaksikan hingga hari ini. Seorang anak laki-laki dilahirkan [di Negeri] Urr, lebih kurang 4000 tahun yang silam di sebuah rumah seorang pembuat berhala. Dan ia tumbuh dewasa di suatu keluarga yang siang malam cenderung dalam perkumpulan menyekutukan Tuhan dan menyembah berhala-berhala. Namun anak ini terlahir dengan hati yang diterangi [nur Ilahi] dan memandang jijik terhadap berhala-berhala semenjak masa kanak-kanaknya.
Tuhan Yang Maha Melihat dan Yang meliputi semua mata telah memilih anak ini - Hadhrat Ibrahim(a.s.) - dan menganugrahinya dengan karunia-Nya. Di masa kemudian Hadhrat Ibrahim(a.s.) diangkat [menjadi] seorang nabi oleh Allah yang memerintahkan beliau untuk mengorbankan putra beliau - Hadhrat Ismail(a.s.) - supaya pondasi ketakwaan, kesucian, dan kesolehan bisa ditegakkan di suatu tempat yang jauh dari tempat tinggal umat manusia di bawah perlindungan dan pengawasan Tuhan.
Hadhrat Ibrahim(a.s.) bersedia mematuhi perintah Tuhan untuk meninggalkan putra beliau di lembah yang tandus, di mana di tempat itu tidak ada makanan dan air. Beliau (a.s.) meninggalkan putra dan istri beliau di suatu lembah yang berbahaya dan mengerikan dengan tujuan semata-mata supaya nama Tuhan menjadi mulia dan agung. Dan keagungan serta kebesaran Tuhan pun [dapat] dibangun kembali. Beliau(a.s.) meninggalkan mereka di belantara gurun dengan sekantung air [minum] dan beberapa buah kurma. Ketika itu Hadhrat Ibrahim(a.s.) sendiri berpikir bahwa air dan beberapa buah kurma [mereka] akan segera habis sedangkan di lembah itu tidak tersisa suatu apa pun selain butiran-butiran pasir dan sinar matahari bagi istri dan putranya. Beliau(a.s.) meneteskan air mata dengan [perasaan haru] dan diliputi dengan perasaan emosi.


 Perjuangan Hadhrat Hajar(r.a.)
Perhatikanlah! Hadhrat Hajar(r.a.) menyadari bahwa masalah ini merupakan suatu perkara yang serius. Ketika Hadhrat Ibrahim(a.s.) pulang kembali, [kemudian] Hadhrat Hajar(r.a.) mengikutinya dan berkata, "Wahai Ibrahim. Mengapa engkau tinggalkan kami? Di sini tidak ada air untuk minum dan tidak ada makanan untuk dimakan." Hadhrat Ibrahim(a.s.) [sebenarnya] ingin menjawab. Namun [perasaan] emosinya [semakin] meningkat, sehingga tidak dapat berbicara. Kemudian Hadhrat Hajar(r.a.) berkata, "Apakah engkau meninggalkan kami di sini atas perintah Tuhan atau atas keinginan engkau sendiri?" Lalu, Hadhrat Ibrahim(a.s.) menengadahkan tangannya ke arah langit - barangkali maksudnya bahwa beliau(a.s.) melakukan [semua ini] di bawah perintah Tuhan. Jawaban beliau(a.s.) penuh dengan keimanan dan keteguhan.
Hadhrat Hajar(r.a.) hanya memiliki seorang putra di mana pada saat itu putranya [pun] dalam keadaan terkekang oleh kematian terhalang untuk berbuat sesuatu. Pada suatu ketika beliau berkata, "Apakah dengan sebab perkara ini, kemudian Tuhan tidak akan membinasakan kami." Akhirnya, keduanya [mulai] kehabisan air dan makanan.
Kemudian Hadhrat Hajar(r.a.) tidak dapat menahan [perasaan melihat] pemandangan atas keadaan yang sukar bagi putranya yang sedang meronta-ronta ditekan oleh rasa haus. Ia mulai mendaki sebuah bukit dengan harapan barangkali ada orang atau beberapa rumah yang akan dapat terlihat dari sana. Atau [mungkin] dari orang-orang itu ia bisa memperoleh sedikit air. Akan tetapi tidak tersisa sedikitpun air yang tampak sejauh mata memandang. Lalu ia turun kembali ke bawah dalam keadaan khawatir dan [kemudian] mendaki bukit yang lain [lagi]. Di sana pun ia tidak menemukan tanda-tanda [adanya] air.


Mata Air Zam-Zam Dan Kafilah Yang Tersesat
Dalam keadaan yang mengkhawatirkan dan [dipenuhi] penderitaan, Hadhrat Hajar(r.a.) naik turun bukit sebanyak tujuh kali. Hingga akhirnya, hatinya mulai tertekan/terpukul dan ia berpikir, "Apakah [gerangan] yang akan terjadi pada putranya?" Tiba-tiba turun wahyu dari Tuhan, "Hajar, Tuhan telah menyediakan air untuk putramu, pergi dan lihatlah dia!" Hadhrat Hajar kembali untuk melihat putranya dan ia menemukan sebuah mata air sedang memancar keluar di dekat kaki putranya. Mata air yang keluar ini dengan nama Zam-zam yang artinya sebuah nyanyian kegembiraan. Mungkin Hadhrat Hajar sendiri yang memberi nama mata air itu Zam-Zam sebagai air yang disediakan bagi beliau. Dan pada waktu itu adalah kesempatan untuk menyanyikan lagu dalam kegembiraan serta mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan putranya dari kematian karena kehausan. Maka Tuhan telah menyediakan air dalam cara demikian.
Sekarang [timbul] pertanyaan [bagaimana] tentang makanannya? Pada suatu ketika ada sebuah kafilah yang tersesat dari jalan dan kafilah itu tiba di tempat tersebut. Semua anggota kafilah itu [tampak] sangat membutuhkan air. Mereka minta izin kepada Hadhrat Hajar untuk tinggal di sana dan menjadi warganya. Hadhrat Hajar [pun] mengizinkannya dan mereka [pun] mulai menetap di sana sebagai warga Hadhrat Hajar dan putranya. Kemudian Tuhan menjadikan Hadhrat Ismail(a.s.) sebagai raja sebelum ia tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda. (HR Bukhari).
  
Makna Dari Pengorbanan Hadhrat Hajar(r.a.)
Untuk memperingati peristiwa ini bahkan hingga sekarang bahwa seseorang yang [melaksanakan] ibadah Haji harus naik turun bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Lari-lari kecil ini menandakan suatu keteguhan hati untuk mengikuti langkah kaki Hadhrat Hajar(r.a.) dan ini merupakan suatu pernyataan bahwa kami pun jika diwajibkan tidak akan ragu-ragu untuk mengorbankan  [orang yang] dekat dengan kami dan orang yang dicintai demi kepentingan Tuhan.
Pendeknya, ibadah haji merupakan suatu ibadah yang sangat penting. Lalu [jika] seseorang pergi ke Makkah melaksanakan semua aturan ibadah haji dengan sempurna. Maka orang itu akan menyadari bagaimana [keadaan] seseorang yang melakukan pengorbanan demi kepentingan Tuhan bahwa ia [senantiasa] hidup selamanya.

Id Sejati Dalam Kegembiraan Hati
Id yang sejati dilakukan dalam [bentuk] kegembiraan hati. Dan kegembiraan itu disebabkan oleh ketenangan. Dan ketenangan itu dihasilkan oleh kebebasan dari [rasa] ketakutan. Dan seseorang tidak bisa bebas dari ketakutan, kecuali ia yakin dengan sungguh-sungguh bahwa ia telah memiliki seorang penjaga dan pelindung yang tidak ada seorang pun dapat menjumpainya. Tuhan sendiri dapat menjadi wujud penjaga dan pelindung. Suatu kali Id yang sejati ditampilkan dalam bentuk keyakinan bahwa Tuhan ridha atasnya. Dan sebagai akibatnya, Dia akan menjadi pelindungnya dalam segala macam kondisi.
Jadi, manusia hendaknya berusaha untuk memperoleh Id sejati yang tidak tahu penghentiannya dan selalu bersama dengan-Nya dalam keadaan duduk, berdiri, tidur atau bekerja. Seorang manusia yang telah memiliki Id sedemikian rupa adalah sesungguhnya ia telah diberkati dengan kesenangan, kepastian dan ketenangan.
Semoga Allah menganugrahkan kepada kita Id sejati tanpa formalitas. Id adalah seperti obat yang diberikan kepada para pasien untuk [menyembuhkan] penyakitnya yang sementara. Kebahagiaan sejati datang ketika penderitaan itu tidak dapat sirna hingga seseorang itu meyakini bahwa Tuhan [selalu] bersamanya. (Khutbah Idul Adha, Agustus 1915).

Id Sarana Untuk Mencapai Tuhan
Id mengandung realisasi tentang [Wujud] Tuhan. Dan orang yang [berusaha] mencapai Tuhan, tentu dia berhasil dalam usaha dan pencapaiannya [meraih] kegembiraan dan kebahagiaan yang abadi. Islam - dengan menetapkan ibadah puasa - telah mengajarkan suatu pelajaran, bahwa pengorbanan secara jasmani sangat diperlukan dalam perjuangan meraih kebahagiaan. Pada kesempatan Id yang kedua, orang-orang Islam mengorbankan binatang-binatang [ternak] dalam mengenang kesiap-sediaan Hadhrat Ibrahim(a.s.) untuk menyembelih putranya demi [perintah] Tuhan.
Penyembelihan hewan-hewan [ternak] - pada kesempatan itu - memperagakan semangat si penyembelih, bahwa dia tidak akan ragu-ragu mengorbankan hidupnya demi Tuhan jika diperlukan. Inilah arti penting dari Id yang Islami. Perayaan-perayaan dari agama-agama yang lain tidak memiliki arti ini. Id mereka dapat diibaratkan dengan kebahagiaan seseorang yang bersifat sementara dan khayalan kepada rupa patung kekasihnya. Akan tetapi Id yang Islami membimbing orang-orang Islam [ke] sepanjang jalan yang membawanya ke pintu Sang Kekasihnya. Dan sambil menyibak tirai mengatakan, "Di sanalah kekasihmu, berusahalah lebih keras lagi, laluilah pintu itu dan jumpailah Dia." Kebahagiaan seseorang yang hanya memandang sebuah patung kekasihnya yang tidak bernyawa, segera berubah menjadi rasa kekecewaan. Namun, kebahagiaan orang yang telah berjumpa dengan kekasihnya tentu jauh lebih agung dan lebih nyata.
Pendek kata, Id kita [ini] menunjuki kita ke jalan yang benar dengan mengikuti Tuhan, yang kita [sendiri] dapat menyaksikan- Nya. Oleh karena yang dimaksud dengan Id adalah Pencapaian Tuhan, dan maksud pencapaian kepada-Nya itu tidak ada jalan lain melainkan melakukan pengorbanan untuk-Nya. Apabila kita merenungi maksud Id ini, Id kita akan menjadi Id yang hakiki, atau [sebaliknya] kebahagiaan yang semu hanya akan menambah duka-cita. (Khutbah Idul Adha, Juli 1919)

Id Hakiki Sumber Mata Air Kebenaran
Orang-orang Islam dapat memiliki Id yang hakiki hanya apabila mereka mengambil pelajaran dari Id ini. Dan mencoba dengan cara terbaik yang mereka miliki untuk mendapatkan kembali wibawa dan kemuliaan mereka yang hilang, kesolehan dan kesucian, kebajikan dan kebenaran, kedudukan serta kehormatan. Jika dengan argumen dan alasan yang baik serta ilmu pengetahuan dan amalan, mereka akan membuktikan bahwa tidak ada orang yang dapat menyangkal argumen-argumen Islam, maka mereka (orang Islam) akan berhak atas Id yang sejati. Dan hari itu akan nyata menjadi hari Id yang hakiki dan kebahagiaan yang nyata bagi mereka. Dan Id ini terbentang [luas] di kalangan seluruh umat manusia supaya menjadi sumber mata air kebenaran. Maka semua orang boleh meminum darinya. Kebenaran yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya yang Karim(s.a.w.), dan untuk menyebarkannya, Allah Ta'ala telah mengutus Hadhrat Masih Mau'ud(a.s.) di zaman ini. (Khutbah Idul Adha, Juni 1918)
  
Tugas Memerangi Setan Di Zaman Ini Dan Dua Macam Id
Tugas yang diamanatkan kepada kita di zaman ini adalah lebih agung dari pada seseorang yang dipercaya untuk sejumlah umat dalam beberapa masa. Tugas kalian adalah memerangi setan. Hadhrat Masih Mau'ud(a.s.) telah dibangkitkan pada masa ketika seluruh dunia berada dalam genggaman setan. Maksudnya, kalian ini [orang-orang] yang lemah, tetapi dengan sekuat tenaga kalian dapat menaklukkan hati manusia. Para pengikut nabi yang mana pun telah ditugaskan untuk memerangi setan, [padahal] tugas yang demikian itu tidak menguntungkan. Tentu [tugas] memerangi setan tersebut telah diamanatkan kepada Rasul Karim(s.a.w.). Akan tetapi tugas tersebut akan disempurnakan di masa kedatangannya yang kedua.

[Tugas] ini tentunya melalui kekuatan ruhaninya. Akan tetapi itu disediakan bagi mazhar (manifestasi) -nya yang kedua. Maka pengorbanan yang diperlukan untuk pekerjaan besar ini tidak ada bandingannya dengan masa lalu. Namun pengorbanan kalian bahkan sekarang ini tidak sederajat dengan pengorbanan- pengorbanan yang dilakukan oleh para pengikut awal Nabi Isa(a.s.). Maka saya memohon kepada saudara-saudara untuk membuka pikiran mereka untuk melakukan pengorbanan yang belum pernah terjadi. Tanpa itu tidak akan menjadi Id yang hakiki. Semoga Allah melalui kemurahan-Nya memberikan kita kesempatan untuk memiliki kedua Id, yaitu Id yang dicapai melalui pengorbanan dan usaha serta [Id] yang dianugrahkan oleh Tuhan sendiri sebagai suatu hadiah. (Khutbah Idul Adha, Mei 1925)

Diterjemahkan dari Review Of Religions, Volume LXI, No. IV, April 1967, halaman 5-9. Penerjemah: Hizbul Fikr/Jamiah - CSN & BA

Khutbah Idul Adha


 
KUTIPAN BEBERAPA KHUTBAH IDUL ADHA
HADHRAT MIRZA BASYIRUDDIN MAHMUD AHMAD
MUSHLIH MAU'UD(r.a.)

Kisah Keluarga Nabi Ibrahim(a.s.)
Idul Adha adalah memperingati peristiwa [atas] kecintaan sejati kepada Tuhan yang diperlihatkan oleh Hadhrat Ibrahim (a.s.) lebih kurang 4000 tahun yang lalu. Sejak itu, hasil dari [peristiwa tersebut] dunia tengah menyaksikan hingga hari ini. Seorang anak laki-laki dilahirkan [di Negeri] Urr, lebih kurang 4000 tahun yang silam di sebuah rumah seorang pembuat berhala. Dan ia tumbuh dewasa di suatu keluarga yang siang malam cenderung dalam perkumpulan menyekutukan Tuhan dan menyembah berhala-berhala. Namun anak ini terlahir dengan hati yang diterangi [nur Ilahi] dan memandang jijik terhadap berhala-berhala semenjak masa kanak-kanaknya.
Tuhan Yang Maha Melihat dan Yang meliputi semua mata telah memilih anak ini - Hadhrat Ibrahim(a.s.) - dan menganugrahinya dengan karunia-Nya. Di masa kemudian Hadhrat Ibrahim(a.s.) diangkat [menjadi] seorang nabi oleh Allah yang memerintahkan beliau untuk mengorbankan putra beliau - Hadhrat Ismail(a.s.) - supaya pondasi ketakwaan, kesucian, dan kesolehan bisa ditegakkan di suatu tempat yang jauh dari tempat tinggal umat manusia di bawah perlindungan dan pengawasan Tuhan.
Hadhrat Ibrahim(a.s.) bersedia mematuhi perintah Tuhan untuk meninggalkan putra beliau di lembah yang tandus, di mana di tempat itu tidak ada makanan dan air. Beliau (a.s.) meninggalkan putra dan istri beliau di suatu lembah yang berbahaya dan mengerikan dengan tujuan semata-mata supaya nama Tuhan menjadi mulia dan agung. Dan keagungan serta kebesaran Tuhan pun [dapat] dibangun kembali. Beliau(a.s.) meninggalkan mereka di belantara gurun dengan sekantung air [minum] dan beberapa buah kurma. Ketika itu Hadhrat Ibrahim(a.s.) sendiri berpikir bahwa air dan beberapa buah kurma [mereka] akan segera habis sedangkan di lembah itu tidak tersisa suatu apa pun selain butiran-butiran pasir dan sinar matahari bagi istri dan putranya. Beliau(a.s.) meneteskan air mata dengan [perasaan haru] dan diliputi dengan perasaan emosi.


 Perjuangan Hadhrat Hajar(r.a.)
Perhatikanlah! Hadhrat Hajar(r.a.) menyadari bahwa masalah ini merupakan suatu perkara yang serius. Ketika Hadhrat Ibrahim(a.s.) pulang kembali, [kemudian] Hadhrat Hajar(r.a.) mengikutinya dan berkata, "Wahai Ibrahim. Mengapa engkau tinggalkan kami? Di sini tidak ada air untuk minum dan tidak ada makanan untuk dimakan." Hadhrat Ibrahim(a.s.) [sebenarnya] ingin menjawab. Namun [perasaan] emosinya [semakin] meningkat, sehingga tidak dapat berbicara. Kemudian Hadhrat Hajar(r.a.) berkata, "Apakah engkau meninggalkan kami di sini atas perintah Tuhan atau atas keinginan engkau sendiri?" Lalu, Hadhrat Ibrahim(a.s.) menengadahkan tangannya ke arah langit - barangkali maksudnya bahwa beliau(a.s.) melakukan [semua ini] di bawah perintah Tuhan. Jawaban beliau(a.s.) penuh dengan keimanan dan keteguhan.
Hadhrat Hajar(r.a.) hanya memiliki seorang putra di mana pada saat itu putranya [pun] dalam keadaan terkekang oleh kematian terhalang untuk berbuat sesuatu. Pada suatu ketika beliau berkata, "Apakah dengan sebab perkara ini, kemudian Tuhan tidak akan membinasakan kami." Akhirnya, keduanya [mulai] kehabisan air dan makanan.
Kemudian Hadhrat Hajar(r.a.) tidak dapat menahan [perasaan melihat] pemandangan atas keadaan yang sukar bagi putranya yang sedang meronta-ronta ditekan oleh rasa haus. Ia mulai mendaki sebuah bukit dengan harapan barangkali ada orang atau beberapa rumah yang akan dapat terlihat dari sana. Atau [mungkin] dari orang-orang itu ia bisa memperoleh sedikit air. Akan tetapi tidak tersisa sedikitpun air yang tampak sejauh mata memandang. Lalu ia turun kembali ke bawah dalam keadaan khawatir dan [kemudian] mendaki bukit yang lain [lagi]. Di sana pun ia tidak menemukan tanda-tanda [adanya] air.


Mata Air Zam-Zam Dan Kafilah Yang Tersesat
Dalam keadaan yang mengkhawatirkan dan [dipenuhi] penderitaan, Hadhrat Hajar(r.a.) naik turun bukit sebanyak tujuh kali. Hingga akhirnya, hatinya mulai tertekan/terpukul dan ia berpikir, "Apakah [gerangan] yang akan terjadi pada putranya?" Tiba-tiba turun wahyu dari Tuhan, "Hajar, Tuhan telah menyediakan air untuk putramu, pergi dan lihatlah dia!" Hadhrat Hajar kembali untuk melihat putranya dan ia menemukan sebuah mata air sedang memancar keluar di dekat kaki putranya. Mata air yang keluar ini dengan nama Zam-zam yang artinya sebuah nyanyian kegembiraan. Mungkin Hadhrat Hajar sendiri yang memberi nama mata air itu Zam-Zam sebagai air yang disediakan bagi beliau. Dan pada waktu itu adalah kesempatan untuk menyanyikan lagu dalam kegembiraan serta mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan putranya dari kematian karena kehausan. Maka Tuhan telah menyediakan air dalam cara demikian.
Sekarang [timbul] pertanyaan [bagaimana] tentang makanannya? Pada suatu ketika ada sebuah kafilah yang tersesat dari jalan dan kafilah itu tiba di tempat tersebut. Semua anggota kafilah itu [tampak] sangat membutuhkan air. Mereka minta izin kepada Hadhrat Hajar untuk tinggal di sana dan menjadi warganya. Hadhrat Hajar [pun] mengizinkannya dan mereka [pun] mulai menetap di sana sebagai warga Hadhrat Hajar dan putranya. Kemudian Tuhan menjadikan Hadhrat Ismail(a.s.) sebagai raja sebelum ia tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda. (HR Bukhari).
  
Makna Dari Pengorbanan Hadhrat Hajar(r.a.)
Untuk memperingati peristiwa ini bahkan hingga sekarang bahwa seseorang yang [melaksanakan] ibadah Haji harus naik turun bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Lari-lari kecil ini menandakan suatu keteguhan hati untuk mengikuti langkah kaki Hadhrat Hajar(r.a.) dan ini merupakan suatu pernyataan bahwa kami pun jika diwajibkan tidak akan ragu-ragu untuk mengorbankan  [orang yang] dekat dengan kami dan orang yang dicintai demi kepentingan Tuhan.
Pendeknya, ibadah haji merupakan suatu ibadah yang sangat penting. Lalu [jika] seseorang pergi ke Makkah melaksanakan semua aturan ibadah haji dengan sempurna. Maka orang itu akan menyadari bagaimana [keadaan] seseorang yang melakukan pengorbanan demi kepentingan Tuhan bahwa ia [senantiasa] hidup selamanya.

Id Sejati Dalam Kegembiraan Hati
Id yang sejati dilakukan dalam [bentuk] kegembiraan hati. Dan kegembiraan itu disebabkan oleh ketenangan. Dan ketenangan itu dihasilkan oleh kebebasan dari [rasa] ketakutan. Dan seseorang tidak bisa bebas dari ketakutan, kecuali ia yakin dengan sungguh-sungguh bahwa ia telah memiliki seorang penjaga dan pelindung yang tidak ada seorang pun dapat menjumpainya. Tuhan sendiri dapat menjadi wujud penjaga dan pelindung. Suatu kali Id yang sejati ditampilkan dalam bentuk keyakinan bahwa Tuhan ridha atasnya. Dan sebagai akibatnya, Dia akan menjadi pelindungnya dalam segala macam kondisi.
Jadi, manusia hendaknya berusaha untuk memperoleh Id sejati yang tidak tahu penghentiannya dan selalu bersama dengan-Nya dalam keadaan duduk, berdiri, tidur atau bekerja. Seorang manusia yang telah memiliki Id sedemikian rupa adalah sesungguhnya ia telah diberkati dengan kesenangan, kepastian dan ketenangan.
Semoga Allah menganugrahkan kepada kita Id sejati tanpa formalitas. Id adalah seperti obat yang diberikan kepada para pasien untuk [menyembuhkan] penyakitnya yang sementara. Kebahagiaan sejati datang ketika penderitaan itu tidak dapat sirna hingga seseorang itu meyakini bahwa Tuhan [selalu] bersamanya. (Khutbah Idul Adha, Agustus 1915).

Id Sarana Untuk Mencapai Tuhan
Id mengandung realisasi tentang [Wujud] Tuhan. Dan orang yang [berusaha] mencapai Tuhan, tentu dia berhasil dalam usaha dan pencapaiannya [meraih] kegembiraan dan kebahagiaan yang abadi. Islam - dengan menetapkan ibadah puasa - telah mengajarkan suatu pelajaran, bahwa pengorbanan secara jasmani sangat diperlukan dalam perjuangan meraih kebahagiaan. Pada kesempatan Id yang kedua, orang-orang Islam mengorbankan binatang-binatang [ternak] dalam mengenang kesiap-sediaan Hadhrat Ibrahim(a.s.) untuk menyembelih putranya demi [perintah] Tuhan.
Penyembelihan hewan-hewan [ternak] - pada kesempatan itu - memperagakan semangat si penyembelih, bahwa dia tidak akan ragu-ragu mengorbankan hidupnya demi Tuhan jika diperlukan. Inilah arti penting dari Id yang Islami. Perayaan-perayaan dari agama-agama yang lain tidak memiliki arti ini. Id mereka dapat diibaratkan dengan kebahagiaan seseorang yang bersifat sementara dan khayalan kepada rupa patung kekasihnya. Akan tetapi Id yang Islami membimbing orang-orang Islam [ke] sepanjang jalan yang membawanya ke pintu Sang Kekasihnya. Dan sambil menyibak tirai mengatakan, "Di sanalah kekasihmu, berusahalah lebih keras lagi, laluilah pintu itu dan jumpailah Dia." Kebahagiaan seseorang yang hanya memandang sebuah patung kekasihnya yang tidak bernyawa, segera berubah menjadi rasa kekecewaan. Namun, kebahagiaan orang yang telah berjumpa dengan kekasihnya tentu jauh lebih agung dan lebih nyata.
Pendek kata, Id kita [ini] menunjuki kita ke jalan yang benar dengan mengikuti Tuhan, yang kita [sendiri] dapat menyaksikan- Nya. Oleh karena yang dimaksud dengan Id adalah Pencapaian Tuhan, dan maksud pencapaian kepada-Nya itu tidak ada jalan lain melainkan melakukan pengorbanan untuk-Nya. Apabila kita merenungi maksud Id ini, Id kita akan menjadi Id yang hakiki, atau [sebaliknya] kebahagiaan yang semu hanya akan menambah duka-cita. (Khutbah Idul Adha, Juli 1919)

Id Hakiki Sumber Mata Air Kebenaran
Orang-orang Islam dapat memiliki Id yang hakiki hanya apabila mereka mengambil pelajaran dari Id ini. Dan mencoba dengan cara terbaik yang mereka miliki untuk mendapatkan kembali wibawa dan kemuliaan mereka yang hilang, kesolehan dan kesucian, kebajikan dan kebenaran, kedudukan serta kehormatan. Jika dengan argumen dan alasan yang baik serta ilmu pengetahuan dan amalan, mereka akan membuktikan bahwa tidak ada orang yang dapat menyangkal argumen-argumen Islam, maka mereka (orang Islam) akan berhak atas Id yang sejati. Dan hari itu akan nyata menjadi hari Id yang hakiki dan kebahagiaan yang nyata bagi mereka. Dan Id ini terbentang [luas] di kalangan seluruh umat manusia supaya menjadi sumber mata air kebenaran. Maka semua orang boleh meminum darinya. Kebenaran yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya yang Karim(s.a.w.), dan untuk menyebarkannya, Allah Ta'ala telah mengutus Hadhrat Masih Mau'ud(a.s.) di zaman ini. (Khutbah Idul Adha, Juni 1918)
  
Tugas Memerangi Setan Di Zaman Ini Dan Dua Macam Id
Tugas yang diamanatkan kepada kita di zaman ini adalah lebih agung dari pada seseorang yang dipercaya untuk sejumlah umat dalam beberapa masa. Tugas kalian adalah memerangi setan. Hadhrat Masih Mau'ud(a.s.) telah dibangkitkan pada masa ketika seluruh dunia berada dalam genggaman setan. Maksudnya, kalian ini [orang-orang] yang lemah, tetapi dengan sekuat tenaga kalian dapat menaklukkan hati manusia. Para pengikut nabi yang mana pun telah ditugaskan untuk memerangi setan, [padahal] tugas yang demikian itu tidak menguntungkan. Tentu [tugas] memerangi setan tersebut telah diamanatkan kepada Rasul Karim(s.a.w.). Akan tetapi tugas tersebut akan disempurnakan di masa kedatangannya yang kedua.

[Tugas] ini tentunya melalui kekuatan ruhaninya. Akan tetapi itu disediakan bagi mazhar (manifestasi) -nya yang kedua. Maka pengorbanan yang diperlukan untuk pekerjaan besar ini tidak ada bandingannya dengan masa lalu. Namun pengorbanan kalian bahkan sekarang ini tidak sederajat dengan pengorbanan- pengorbanan yang dilakukan oleh para pengikut awal Nabi Isa(a.s.). Maka saya memohon kepada saudara-saudara untuk membuka pikiran mereka untuk melakukan pengorbanan yang belum pernah terjadi. Tanpa itu tidak akan menjadi Id yang hakiki. Semoga Allah melalui kemurahan-Nya memberikan kita kesempatan untuk memiliki kedua Id, yaitu Id yang dicapai melalui pengorbanan dan usaha serta [Id] yang dianugrahkan oleh Tuhan sendiri sebagai suatu hadiah. (Khutbah Idul Adha, Mei 1925)

Diterjemahkan dari Review Of Religions, Volume LXI, No. IV, April 1967, halaman 5-9. Penerjemah: Hizbul Fikr/Jamiah - CSN & BA